Angga Wijaya (AW) berbincang dengan Reza Afisina (RA)
Mengenai bagaimana istilah proyek seni muncul di ruangrupa, baik sebagai organisator maupun artist collective yang telah banyak membuat seni berbasis proyek. Kemudian bagaimana pembacaan Reza Afisina mengenai praktik-praktik yang berkembang dalam seni kontemporer.
AW: Saya mengetahui pertama kali istilah proyek seni dari ruangrupa, hal ini pun secara tidak sadar berpengaruh pada penamaan kerja kuratorial saya dengan berbasis proyek seni. Bagaimana awalnya ruangrupa memakai istilah proyek seni tersebut? Apakah istilah tersebut datang dari pemikiran barat? Atau istilah itu muncul dari faktor badan funding?
RA: Pada awalnya, ruangrupa memakai istilah art project, secara pribadi saya memang tidak familiar dengan istilah art project. Dahulu ada tiga klausa program yang biasa kami gunakan yaitu artist residency, art project, dan workshop seniman, terlepas dari laporan kepada badan funding sebagai bentuk proposal dan output. Pada awalnya, ruangrupa berusaha mengartikulasikan apa itu proyek seni, ruangrupa berusaha menjadi wadah untuk membuktikan satu atau dua cara terhadap modul proses kreatif. Proses berkarya itu bagaimana? entah itu dari riset atau kolaborasi, pada awalnya kami belum pernah mendengar kolaborasi itu sistemnya bagaimana?
Kemudian, riset yang berhubungan dengan seni rupa atau riset yang pada akhirnya sekarang dikatakan riset artistik, ada proses kreatif di dalamnya, seperti apa? Bagaimana dengan bentuk-bentuk permainan di dalamnya? Yang dilibatkan siapa saja? Mungkin sekarang kita mengenal interdisiplin atau multidisplin, tapi istilah itu akademis sekali. Maksudnya, kita juga harus menjawab itu. Secara terminologi, jika istilah-istilah art project, workshop, artist residency, artistic related proces merupakan istilah yang diketahui secara universal, tapi untuk kami di ruangrupa pada awalnya tidak mengerti, caranya untuk mengartikulasikannya bagaimana? Ya sudah kita jalani saja dahulu sampai ketemu karakternya.
Saat awal berdirinya ruangrupa, kami belum mendapatkan dana dari badan funding, saat itu kami berpikir harus membuktikan termininologi tersebut karakternya bagaimana? Dan terbukti seperti apa untuk karakternya ruangrupa? Sedangkan Cemeti sudah punya pakem sendiri, infrastruktur ada, tempat pameran ada, hal itu mempermudah sistem kerja. Kemudian Jogja secara struktur organisasi dan kesenimanannya jauh lebih baik dibanding di Jakarta, sanggarnya jelas, komunitinya jelas. Sementara kami di ruangrupa, pada awalnya melakukan praktik saja, jadi kami berusaha menjawab istilah tersebut.
Residensi seniman? Berarti ada seniman datang, berapa lama? Dan terus mereka akan bekerja bersama kami di Jakarta untuk membuktikan, atau bermain, atau mengkritisi, atau mengeluarkan satu lontaran materi yang lain, yang kemudian dapat digunakan untuk proses kreatif, selanjutnya apa? Oh.. mungkin residensi seniman seperti itu yah? Seniman harus tinggal, minimal dua minggu sampai sebulan.
Secara pribadi, saat di sekolah, saya tidak mengenali istilah artist residency. Jika diundang sebagai artist in residency ke luar negeri saya harus melakukan apa? Sedangkan yang lain, dari sekolahnya sudah di-drill untuk kegiatan seperti artist in residency, sudah punya penerapan semacam itu. Berbeda dengan Ade Darmawan yang pernah di Rijk Academy, dia sudah tahu konstelasi seni, bagaimana seniman residensi. Atau misalnya lagi Nindityo Adipurnomo, Mella Jaarsma, Agus Suwage, yang seniman senior-senior. Dari pengalaman tersebut, menemukan suatu wawasan bahwa seni rupa itu dapat berhadapan dengan tipikal seperti ke-organisasi-an, program, dan salah satunya proyek, di dalam program ada proyek seni.
Akhirnya, kita mempunyai kesadaraan bahwa proses kreatif itu bersanding dengan beberapa proses yang biasa disebut ilmiah. Ada proses-proses yang berlaku, mulai beradaptasi dengan lingkungan, berkenalan dengan orang, berinteraksi dengan publik. Akhirnya kita menemukan jawabannya, oh berarti ada seniman yang tipikalnya; dia residensi dan memakai mesin ketiknya, kemudian dia keluar, balik lagi, dia berinteraksi dengan dirinya sendiri, mengumpulkan ide dan bahan yang kemudian dia presentasikan. Ada seniman yang datang; tidak tahu mau ngapain, nyobain makanan ini itu sampai sakit perut, ngobrol ga jelas, tersasar ke mana, duit habis. Apa lagi dahulu sistem komunikasi dan transportasi sangat berantakan. Material? sampai Jakarta ternyata material yang dia inginkan susah, adanya yang seperti ini.
Jadi ada seniman yang memang menawarkan diri “gw ingin ke tempat lu, gw akan menawarkan gagasan sebagai proyek. Prospeksinya gini, gw akan menawarkan bahasan mengenai A. Gw membutuhkan teman seniman yang seperti ini karakternya, atau kita elaborasi apa yang gw butuhkan, kan lu yang lebih tahu” itu contoh seniman yang sudah siap, biasanya kita namakan sebagai proyek seni. Sedangkan seniman residensi gampang. “Lu ada waktu ga? Lu ikut residensi seniman ya, gini… gini… gini… yang terpenting lu datang dulu ke Jakarta” kemudian nanti improvisasinya seperti apa, riset seperti apa, jadinya seperti apa.
Sedangkan proyek seni biasanya sudah mempunyai pakem-pakem tertentu, biasanya tepat sasaran. Hal tersebut yang membedakan dengan residensi seniman, yang hanya menerima seniman datang. Keduanya menguntungkan, karena keduanya mempunyai sumber, kita dapat tahu seniman mana yang siap untuk melakukan proses sebagai proyek seni atau residensi seniman. Dua istilah tersebut prosesnya, workshop atau segala macam lainya itu sebagai metode untuk melakukan praktik-praktik, dari proses kreatif sampai pameran itu praktik-praktiknya.
Sejauh ini proyek seni lebih banyak berdasarkan bahan dan rancangannya sudah siap. Pada tahun 2007, ruangrupa membuat laboratorium seni rupa di ruangrupa untuk mengakomodir proyek seni, residensi kita hilangkan, karena akan sama saja. Seniman datang siap, maka seniman akan residensi juga untuk melakukan proyek ini, jika seniman datang tidak siap, seniman tetap akan terlibat dengan proyek ini juga. Sebetulnya karakter yang cocok balik lagi ke identifikasi program yang ada di ruangrupa, laboratorium seni rupa itu lebih ke proyek seni ternyata, residensi sudah otomatis. Mungkin tidak ya bekerjasama dengan kalian? Apa yang sedang dibahas? Kami sedang membahas ini, ayo kita elaborasi. Kemudian berkembang menjadi proyek.
AW: Proses menjadi penting dalam proyek seni, bagaimana irisannya dengan seni berbasis riset?
RA: Sudah otomatis, karena seni berbasis riset, mungkin jika kami menjawabnya, atau berdasarkan pengalaman saya misalnya, mau tidak mau seniman yang berproses rata-rata di kota seperti Jakarta akan melakukan riset sekecil apapun. Pencarian material? Itu riset. Mau ngeprint? atau mau ke tukang kaca patri? kita harus ke bengkelnya. Sedangkan teman-teman di Jogja bikin kaca patri lebih mudah, tinggal ke rumah Bapak siapa yang bisa membuat kaca patri, jadi mereka punya artisan. Di Jakarta jarang sekali seperti itu, jadi mau tidak mau, secara otomatis dalam proses pencarian kebutuhan itu pasti akan meriset.
Misalkan seniman berbasis performance, ketika dia sedang mencari sumber, jalan-jalan, kemudian tersasar. Peristiwa itu yang menjadi proses kreatifnya, untuk menemukan Psychogeography misalkan, tentang kota sebesar Jakarta, dimana orang punya interaksinya yang khas. Wilayah, denah, struktur menjadi badan, menjadi gestur, hal tersebut menjadi bahan riset tanpa tak disengaja.
Namun ada juga seniman yang terbiasa dengan pola riset artistik, penilaiannya artistik bukan ilmiah, metodenya bisa macam-macam, pembuktiannya bisa di karya dahulu, risetnya baru terjabarkan, atau bisa data terlebih dahulu. Jadi ada yang terbiasa dengan persiapan seperti; jadwal minggu pertama begini, minggu ke dua begini. Ya ok, tidak masalah. Sebenarnya, kami tidak mau terjebak dengan istilah proyek seni atau seni berbasis riset, yang kita lakukan sebenarnya, jika kita berhadapan dengan ini, maka mungkin ini bisa disebut sebagai riset artistik.
Sebetulnya pernah ada pertanyaan untuk artlab, kenapa laboratorium seni rupa melakukan riset pemetaan kota Jakarta, seharusnya dapat diwakilkan teman-teman dari bidang tata kota, atau topografi, atau yang memang benar-benar ahlinya? Kami menjawab bahwa kami mempunyai pendekatan yang berbeda, yang mungkin lebih intim. Contohnya, teman-teman di bidang tata kota dengan mudah memetakan pasar yang ada di Jakarta, namun artlab lebih tertarik meriset pasar yang karakternya miskin, misalkan. Ada 200 pasar di Jakarta, ternyata ada 20 pasar yang miskin, jarang didatangi pembeli, dengan itu pasar tersebut mempunyai karakter. Masuk ke pembacaan layer berikutnya, metologinya seperti apa? Ya organik.
AW: Organik, kata tersebut kerap digunakan dalam proses proyek seni, sebenarnya proyek seni mempunyai skema yang pasti tidak? Misalnya bagaimana dengan periode sebuah proyek seni? Dimana titik akhir sebuah proyek seni?
RA: Ini menarik, evaluasi yang selalu hadir di tahun 2003 sampai dengan 2007, yang merupakan periode ruangrupa berhadapan dengan badan funding. Setiap bulan kita uji coba, coba mengetahui berbagai model kerja seniman. Dari 50 persen seniman yang kami undang dalam program ruangrupa, kami menemukan seniman yang tidak segera mempunyai formulasi yang pasti untuk mempresentasikan sesuatu, rata-rata hasil presentasinya terpaksa. Kami kerap melihat bahwa yang dikerjakan seniman tersebut belum beres, tapi senimannya tidak mau mengakui, tapi terserah mereka juga, kita sebagai penyelenggara menilai belum beres, tidak apa-apa juga, nanti kita coba formulasikan kembali. Jadi kesulitannya adalah, dalam waktu sebulan untuk residensi seniman atau seni berbasis proyek itu memang kurang. Kecuali, seniman tersebut sudah pernah mengerjakan sesuatu di belakangnya, kemudian saat residensi, tinggal at on saja, contohnya, pizza sudah ada, dia tinggal at on sosisnya saja.
Tergantung dari tipikal senimannya juga, jika dia terbiasa dengan seni berbasis proyek, dari awal kita akan tahu hasilnya bagaimana. Misalnya, kami mau membuat handphone dengan mengundang seniman seperti Popo atau Azer, kita sudah tahu hasilnya bagaimana, karena sudah mempunyai karakter. Untuk seniman yang residensi, kami belum mengetahui hasilnya bagaimana. Kami tahu karakternya saja, seniman ini bagus, tapi saat sudah di Jakarta, seminggu pertama tidak tahu harus melakukan apa, akhirnya dia baru kerja 10 hari terakhir, wah pasti kalang kabut. Belum lagi banyak mau, ketemu suatu hal senang, dibawa ke Poncol senang, ke Jatinegara senang, panik… panik.. bagasinya terlalu banyak. Sama kita juga seperti itu ternyata, misalnya saya jalan ketemu suatu hal, ingin bikin ini itu, wah bikin apa yah, panik… panik…
Jika seniman, kurator atau organisator yang mengerjakan seni berbasis proyek, biasanya, sudah siap menawarkan sesuatu. Rata-rata cukup berhasil, dalam artian berhasil bukan karyanya saja yang bagus, berhasil untuk mempunyai proses yang berkepanjangan. Biasanya ruangrupa itu selalu menegaskan, kita jangan mentok di proses akhir, jadi tidak ada proses akhir. Kita kerap merasakan hal yang tidak menyenangkan jika ngomongin proses akhir, karena jika sudah selesai, bingung… “terus gw ngapain lagi yah?”
Jadi formulasinya tidak pasti. Karena ketika membahas suatu hal yang organis-dinamis bukan berarti itu tidak ada batasan, justru karena tidak ada batasan, maka setiap bagian prosesnya akan menemukan batasan-batasannya sendiri. Kami tidak pernah membuat aturan, seniman yang kami undang dapat membuat aturannya sendiri. Ternyata dengan itu kita akan mudah menggambarkan batasan untuk proyek berikutnya, ambil bahannya dan kembangkan. Maka pada tahun 2007, kita bicara mengenai laboratorium, kita siapkan wadahnya sebagai laboratorium bersama. Ada orang yang berkerja di laboratorium tersebut, datang seniman ke laboratorium; dia bawa barang, diletakan di atas meja dan yang lain mendengarkan penjelasan seniman tersebut, tanggapannya beragam, kemudian mengolah bahan berikutnya menjadi sesuatu, terus berkembang.
AW: Praktik kesenian berbasis proyek ini kerap keluar dari batasan seni itu sendiri, kemudian ada pertanyaan dari luar kesenian itu mengenai responsibility dan sustainability terhadap kolaboratornya ataupun yang berkaitan dengan di luar kesenian itu sendiri. Karena kita kerap disebut hit and run, sebagai outsider yang datang di lingkungan dan wacana tertentu, kemudian keluar dan selesai. Tapi apakah jangan-jangan sebenarnya sifat kesenian itu tidak mempunyai sustainability, tapi membuka peluang-peluang baru?
RA: Biasanya begini, kapan kita mendengar tentang kearifan lokal? Sepertinya baru-baru kemarin. Maksudnya, secara budaya atau mental orang Indonesia kearifan lokal itu sudah ada sebetulnya. Jika kita membicarakan sistem kolaborasi atau gotong royong, itu istilah yang sedang coba dibuktikan di kontemporer. Makanya jika sekarang kita bangga dengan istilah “gw tuh kolaborator” tidak! Dari tahun 70-an juga sudah ada posisi kolaborator, contohnya membangun mesjid, membuat taman budaya, membuat sanggar, semua dilakukan bersama; ada arsitek, ada pemuka agama, ada tukang kayu, ada ibu-ibu yang bikin makanan.
Kemudian sekarang kita bangga bahwa “ini multidisipilin, ini interdisiplin” itu sudah ada dalam kebudayaan kita, di kontemporer sedang dibuktikan melalui istilah itu. Secara akademis istilah mutlidisiplin atau interdisiplin juga diperkenalkan, tapi apa jangan-jangan seniman yang bersekolah itu didorong untuk mempunyai posisi?
Balik lagi ke sustainability, istilah ini juga dibangun oleh badan funding. Kami menjawab tentang sustainability melalui pencarian praktik kesenian itu. Misalnya, untuk membuktikan seni performance itu sebagai seni media? Kami buatkan saja proyeknya untuk menjawab itu. Dahulu ruangrupa mengundang teman-teman yang konsen terhadap istilah tertentu, kami buatkan proyek, kami mulai memperbandingkan. Jadi kami selalu mengartikulasikan apa yang kita butuhkan, tidak mengeneralisasi dari Wikipedia. Kita harus membuktikan istilah itu, agar kita mudah mencernanya, agar kita mudah menurunkannya ke teman-teman yang lain, secara ilmu pengetahuan akan bertambah dan berkembang terus, itu sustainability berarti kan?
Contohnya, bagaimana kami menjawab tentang sustainability seni video? Ya kami membuat Ok. Video sebagai wadah untuk terus mempelajari seni video, terlepas kita mengerti atau tidak, terlepas respon orang yang datang “ini apaan yah?” Sama seperti halnya saya melihat karya seni lukis, saya tidak mengerti. Tapi kemudian kebiasaan melihat seni video atau seni lukis itu terus dilatih, hal tersebut menjadi suatu sustainability kan? Jika badan funding bertanya mengenai sustainability, biasanya kami menjawab justru bukan programnya yang berkelanjutan, tapi viral-nya yang berkelanjutan. Karena kami dapat feedback, yang lain bisa menambahkan.
AW: “Tidak ada proses akhir dalam proyek seni”. Namun tantangannya ada dalam bentuk presentasi yang berkaitan dengan artistik, misalkan dalam bentuk pameran. Sebagai seniman, organisator atau kurator yang menginisasi seni berbasis proyek ini lamban untuk menemukan bentuk presentasi, karena dalam prosesnya bentuk presentasi terus bergerak dan berkembang sampai detik-detik terakhir pembukaan presentasi atau pameran. Bagaimana dengan itu?
RA: Misalnya, kita menawarkan gagasan kuratorial yang berbasis proyek kepada seniman yang kita ketahui karakternya. Tapi baiknya, mengelaborasi antara gagasan kuratorial dan karakter seniman, bahwa dalam kerja seniman tersebut dekat atau tidak dengan gagasan yang ditawarkan? Jadi kita bisa membayangkan bentuk akhirnya. Bahkan sampai di proses riset, akan ketahuan progresnya seperti apa. Mungkin, ada seniman yang tidak siap dengan durasi, ternyata tidak cukup.
Proyek seni membiarkan proses itu terlihat. Proses yang dimaksud, bukan dokumentasi, dokumentasi itu dukungan. Namun proses yang berkesinambungan adalah proses yang berhubungan. Kadang tidak ada relevansinya dengan temuan-temuan baru, atau temuan baru tersebut akan dimasukan ke bagasi berikutnya, atau coba mengawinkan temuan-temuan itu, tapi tidak terlalu berhasil, akhirnya cara yang kerap digunakan adalah hasil temuan ditampilkan semua, agar orang dapat melihat relevansinya dari proyek ini. Jadi, akan ada banyak pola dan materi yang menjadi sarana pertukaran ilmu, hasilnya bisa macam-macam ternyata. Bisa saja hasilnya pola-pola yang terkumpulkan tersebut, tidak hanya satu. Contohnya, ada seniman yang menggunakan metode tertentu dan berhasil, dia akan terus menggunakan metode tersebut, sementara bagasi-bagasi yang lainnya tidak terpakai, kemudian hanya menjadi cerita saja. Ketika kita menemukan banyak metode atau pola menarik untuk ditampilkan, tampilkan! agar orang melihat gesekannya. Dengan seni berbasis proyek ini kita bisa menemukan berbagai macam kemungkinan. Proses yang kemudian yang menjadi kekuatan. Presentasi akhir dapat disepakati bersama. Gagasan yang ditawarkan itu juga dapat dielaborasi di awal.
AW: Biasanya yang terjadi, gagasan yang ditawarkan inisiator proyek seni, entah dari organisator atau kurator kerap menganggap seniman akan mengilustrasikan gagasan mereka, atau sebaliknya, seniman akan mengambil posisi sebagai illustrator dari gagasan inisiator. Hal demikian bagaimana?
RA: Nah… pertanyaan ini yang kita jawab berdasarkan praktik, kita selalu membuat indikasi, apakah seniman dengan karya lukis juga mempunyai kemampuan untuk mengerjakan riset atau proyek seni? Biasanya yang kita temukan, tidak banyak teman-teman yang selama ini karyanya bagus bisa mengerjakan riset tertentu, ternyata tidak juga, riset itu lebih kepada pencarian inspirasi saja, bukan metode riset artisik bagi mereka. Ternyata di sisi yang lain, teman-teman tersebut bisa menjawab kekhawatirkan kami, misalkan kita ingin hasilnya buku, kami tawarkan ke teman-teman yang tidak punya kedekatan dengan buku, tapi ini bisa jadi proyek untuk mereka, apa arti buku untuk mereka? Apa arti halaman itu bagi mereka? apa lay out itu bagi mereka? Kemudian, bermain-main lah mereka.
AW: Akhirnya, mereka punya pendekatan kerja yang lain?
RA: Akhirnya, itu salah satu jawabannya yang kita temukan, ternyata beberapa seniman dalam proyek seni keluar dari pakem mereka dalam berkarya. Biasanya, residensi seniman hanya sekedar punya kemampuan, datang, lalu bikin karya, “itu karya gw..”, udah! Tapi jika proyek seni, seniman keluar dari pakemnya. Seperti pameran di Biennale, rata-rata pameran di Biennale, proyek seni semua. Kita akan menemukan karya yang berbeda dari seniman yang sudah mempunyai pakemnya sendiri. Jadi proyek seni itu dapat menemukan banyak hal, tidak hanya hasilnya saja. Menariknya, melalui proyek seni, seniman mampu menjawab tantangan mereka sendiri.